Selasa, 18 Januari 2011

DESIRE

Ku pandangi foto pernikahan kalian berdua. Bahagia, kalian terlihat bahagia di foto itu… mungkin. Aku menyunggingkan sebuah senyum, sedih. Sebuah senyum sedih yang ku sunggingkan untuk foto pernikahan kalian. Padahal dulu aku selalu senang melihat foto ini. Tapi sekarang hatiku miris. Kenapa kalian harus bersama? Menikah. Seandainya saja kalian tidak menikah, pasti lebih bahagia. Tidak ada pertengkaran, tidak ada caci maki. Tapi…. Seandainya kalian tidak bersama sampai sekarang ini, aku, kakakku, adikku, tidak akan terlahir di dunia ini. Tentu, tentu saja aku bahagia karena aku bisa hidup. Bisa menikmati keindahan dunia. Kehidupan dengan memilika nyawa. Tapi, kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus seperti ini jadinya? Pertengkaran. Kenapa? Harta? Uang dan harta? Kalian bertengkar hanya karena itu? Memang, aku sangat tahu, hidup membutuhkan uang. Tapi uang bukan segalanya bukan? Menurutku, hidup kita ini sudah cukup baik. Cukup. Itu saja.
Aku berfikir, seandainya saja aku mati. Lalu berenkarnasi. Tapi, renkarnasi itu tidak ada. ‘Kau’ yang bilang begitu padaku. Hidup hanya satu kali. Dan kita harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Ya, aku tahu itu. Seandainya, seandainya saja ‘kalian’ tahu keluh kesahku, apa yang akan ‘kalian’ katakan? Ah, tentu saja aku tahu apa jawaban ‘kalian’. ‘Kalian’ pasti akan memarahiku. Berkata bahwa hanya merasa kalau aku saja yang menderita. Begitu kan? Ha-ha-ha… aku tidak berkata bahwa aku merasa paling menderita di dunia ini. Lagipula, memang bukan aku saja kan yang hidup di dunia ini?! Ya kan?



Salah bila aku curhat pada teman dunia mayaku. Salah juga bila aku jujur kepada kalian. Menulis di buku Deary ? Tidak, itu saja tidak cukup. Tidak ada yang memberikan saran padaku bila hanya menulis itu. Apalagi, sewaktu-waktu buku itu bisa saja hilang dan dibaca kalian, kan? Seringkali ‘dia’ membelaku. Lalu ‘kau’ marah. Kalian bertengkar. ‘Kau’ berkata bahwa aku kambing hitamnya. Pemicu pertengkaran kalian berdua. Sakit! Hatiku sakit mendengarnya! Pernahkah ‘kalian’ mengerti perasaanku sekali ini saja?

Tanpa sadar, kulepaskan foto pernikahan kalian. Kututup kedua telingaku dengan telapak tanganku. Seakan aku menutup telingaku karena mendengar suara bising. Padahal aku sendiran. Di kamarku yang sepi. Hening. Bahkan keheningan ini terasa mencekam. Padahal aku sendiri. Sendiri tanpa lagu menemani. Aku sendiri. Tapi pikiranku berjalan. Berputar. Memunculkan ingatan saat ‘kau’ berkata kalau aku dan ‘dia’ sebaiknya pergi dari kehidupan’mu’, lalu ‘kau’ akan hidup bahagia bersama kakak dan adik. Tapi pernahkah kau berfikir tentangku? Bagaimana perasaanku saat mendengar kalimat itu terucap dari mulut’mu’. Maukah ‘kau’ mendengar jeritan hatiku? Lalu seandainya ‘kau’ sudah mendengar, apakah ‘kau’ akan mengerti? Ku fikir… ah, aku tidak akan tahu apa yang ‘kau’ fikirkan nanti.

Mataku memanas. Pandanganku mengabur. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku dan mengalir ke garis pipiku. Aku menangis. Seandainya… seandainya kalian tidak bersama. Mengkin kehidupan’mu’ akan lebih baik tanpaku. Iya kan? ‘Kau’ mau itu kan? Itu yang ‘kau’ harapkan. Memutar balik kehidupan. Mengulang semuanya dari awal. Tanpa diriku, dan ‘dirinya’. Pasti ‘kau’ akan bahagia. Wah, sepertinya harapnmu terkabul. Buktinya, ada sesosok -entah-apa-itu- berbisik di telingaku. Dia berkata padaku, “Aku dapat mengabulkan permintaanmu. Itu yang kau mau kan?”

Aku mengaguk kecil sambil menghapus air mataku yang masih mengalir dengan jari-jariku. Aku dapat merasakan bahwa sosok itu tersenyum di belakangku. Seakan ia senang mendengar jawaban dariku.

“Pejamkan matamu,”

Ia berbisik lagi. Aku hanya menuruti apa perkataannya. Kupejamkan mataku perlahan. Dia tersenyum lagi –aku dapat merasakannya.

“Anak pintar!” Ia meletakkan satu tangannya di kepalaku. Ia menggumamkan sesuatu. Seperti doa, atau mantra? Entahlah. Yang pasti, aku merasakan kekosongan di dalam jiwaku. Ia menepuk pelan kepalaku.

“Buka matamu,”

Kubuka mataku. Mendadak aku terkejut.Dimana aku? Pikirku sambil mencoba berdiri posisiku yang duduk di jalanan yang penuh banyak orang.

“Kita sekarang berada di masa lalu. Di mana pertama kali ‘mereka’ bertemu,” ucap sosok di belangku sambil membantuku berdiri.

Aku memandang sosok di belangku yang ternyata seorang lelaki berjubah hitam. Tinggi dan terlihat tegap. Wajahnya tidak dapat ku lihat, tapi aku dapat melihat sebuah senyum tipis di bibirnya. Biarlah, siapapun sosok itu, yang pasti ia telah membuatku datang ke masa lalu.

Di depanku, terlihat sebuah gedung besar. Untuk apa aku kesini? Ku pandang wajah sosok lelaki di belangku dengan pandangan heran. Dan sepertinya dia mengerti apa yang aku herankan.

“Ini gedung di mana ‘mereka’ pertama kali bertemu. Kalau kau tidak ingin ‘mereka’ bersama, pisahkan ‘mereka’. Ubahlah masa depan ‘mereka’,” ucapnya tanpa memandangku.

Aku mengangguk tanda mengerti. Aku berjalan memasuki gedung itu. Entah kenapa aku bisa baik-baik saja masuk ke gedung besar itu. Padahal yang aku yakini, sosokku terlihat banyak orang. Sudahlah, ku abaikan pikiran tak jelasku ini. Yang kucari adalah ‘kalian berdua’, dan sepertinya aku beruntung. Bingo, aku menemukan ‘kalian berdua’ yang sedang duduk sebelahan.

Bagaimana cara aku memisahkannya? Pikirku sambil mengerutkan keningku. Apa, apa, dan bagaimana? Terlintas sebuah ide yang cukup konyol di pikiranku. Tapi, inilah cara terbaik. Ku ambil sebuah gelas berisi air putih bening yang berada di atas meja di samping kananku.

Sepertinya sosok di belakangku mengerti apa maksudku dengan air itu. Dia hanya mengikutiku dari belakang saat ku berjalan ke arah ‘kalian’ yang sedang duduk bersebelahan. Sepertinya ‘kalian berdua hanya cuek tanpa memandang satu sama lain. Bagus! Itu yang kupikirkan saat ini. Tepat di belakang kursi ‘kalian berdua’, ku siram seorang wanita yang ku tahu itu siapa, ‘kau’.

“Ah, maaf,” ucapku seolah-olah di buat merasa bersalah dengan sesuatu hal yang ku sengaja.

‘Kau’ berbalik menghadapku. ‘Kau’ hanya tersenyum dengan senyum yang ku kenal.

“Tidak apa-apa kok. Aku juga baru mau pulang sekarang,” ucap’mu’ dengan ramah lalu membawa tasmu dan pergi menghampiri kedua pasangan yang aku tahu siapa. Aku terus memasang wajah bersalah saat ‘kau’ menatapku lagi dari kejauhan. ‘Kau’ hanya tersenyum dan memasang wajah santai lalu pergi meninggalkanku.

Lalu ku lirik sosok lelaki yang kutahu siapa masih santai duduk sambil berbicara dengan seorang wanita yang tidak ku ketahui. Bagus! Masa depan berubah. Aku tersenyum puas.

Tanpa peringatan, sosok di belakangku berguman sesuatu sambil menepuk kepalaku dengan pelan. Dan sosok di sekitarku menghilang. Semua menjadi gelap dan hampa.

“Kau tahu, masa depan ‘mereka’ sudah berubah kan?”

Aku hanya mengangguk.

“Dan kau tahu, karena ‘mereka’ tidak akan bertemu, kau tidak akan lahir di bumi?”

Aku mengangguk pelan. Aku menunduk sambil tersenyum miris. Aku tidak akan lahir di bumi. Berarti aku tidak bias kembali ke duniaku. Dan aku sudah siap menanggung resikonya bila keinginanku terkabul. Aku menegakkan kepalaku sambil tersenyum mengahadap sosok –yang masih kurasa lelaki- dengan jubah hitam dengan sebelah tangannya yang memegang tongkat panjang dengan pisau berbentuk sabit di ujung tongkatnya.

“Malaikat maut,” desisku pelan yang masih tersenyum di hadapannya.

“Sepertinya kau sudah siap,” ucapnya sambil tersenyum menyeringai dengan reaksiku yang santai ini.

“Kalau begitu, aku sudah tidak usah repot-repot lagi ya,” ucapnya lagi sambil mendekatkan pisau berbentuk bulan sabit itu di dekat leherku. Pedang itu seakan mengalungiku dan menghiasi leherku.

Pikiranku konyol. Tapi hatiku sudah terasa lega. Satu gerakan darinya telah membuatku mati. Sakit rasanya. Bukan hanya leherku, seluruh tubuhku terasa sakit. Seperti sepuluh ribu benda tajam menghujaniku. Munusuk seluruh organ yang ada di diriku.

Aku tersungkur di pijakanku. Ku toleh kebelakangku. Sosokku yang telah mati terbaring di sana. Sekarang aku hanya sebuah roh. Aku mencoba berdiri dengan badanku yang terasa lumpuh itu.

Aku tersenyum ke pada sosok di depanku. Ia tersenyum menyeringai –lagi.

Ia membungkuk di hadapanku lalu menjulurkan tangannya.

“Maukah kau ikut denganku, lady?” tanyanya sambil mengadahkan kepalanya untuk menatap wajahku.

Ku letakkan tanganku di telapak tangannya, “Tentu aku mau,” ucapku sambil tersenyum yang dibalas seulas senyum senang darinya.

THE END

Ehehehe.. Gimana? Fi buat ini dengan sepenuh hati lho.. *pasang wajah serius*
Fi aja sampe nangis pas baca ini.... ehehehe (lebay)
Silahkan komennya... X)
Dan maaf kalau ada yang merasa tersinggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar