Ku pandangi foto pernikahan kalian berdua. Bahagia, kalian terlihat bahagia di foto itu… mungkin. Aku menyunggingkan sebuah senyum, sedih. Sebuah senyum sedih yang ku sunggingkan untuk foto pernikahan kalian. Padahal dulu aku selalu senang melihat foto ini. Tapi sekarang hatiku miris. Kenapa kalian harus bersama? Menikah. Seandainya saja kalian tidak menikah, pasti lebih bahagia. Tidak ada pertengkaran, tidak ada caci maki. Tapi…. Seandainya kalian tidak bersama sampai sekarang ini, aku, kakakku, adikku, tidak akan terlahir di dunia ini. Tentu, tentu saja aku bahagia karena aku bisa hidup. Bisa menikmati keindahan dunia. Kehidupan dengan memilika nyawa. Tapi, kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus seperti ini jadinya? Pertengkaran. Kenapa? Harta? Uang dan harta? Kalian bertengkar hanya karena itu? Memang, aku sangat tahu, hidup membutuhkan uang. Tapi uang bukan segalanya bukan? Menurutku, hidup kita ini sudah cukup baik. Cukup. Itu saja.
Aku berfikir, seandainya saja aku mati. Lalu berenkarnasi. Tapi, renkarnasi itu tidak ada. ‘Kau’ yang bilang begitu padaku. Hidup hanya satu kali. Dan kita harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Ya, aku tahu itu. Seandainya, seandainya saja ‘kalian’ tahu keluh kesahku, apa yang akan ‘kalian’ katakan? Ah, tentu saja aku tahu apa jawaban ‘kalian’. ‘Kalian’ pasti akan memarahiku. Berkata bahwa hanya merasa kalau aku saja yang menderita. Begitu kan? Ha-ha-ha… aku tidak berkata bahwa aku merasa paling menderita di dunia ini. Lagipula, memang bukan aku saja kan yang hidup di dunia ini?! Ya kan?